15 Januari 2025

Bukan Sekedar Memutus, Namun Juga Menambal dan Menyelaraskan

Oleh: Dr. Sudarsono, S.H., M.H.

Pasal 66 UU Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman Dan Kejaksaan menyatakan:

“Jika undang-undang atau berdasarkan undang-undang tidak ditetapkan Badan-Badan Kehakiman lain untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara dalam Tata Usaha Pemerintahan, maka Pengadilan Tinggi dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung dalam tingkat kedua memeriksa dan memutus perkara itu.”

Pemeriksaan sengketa TUN pada tingkat pertama pada masa awal kemerdekaan dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi, bukan Pengadilan Negeri, karena sebagaimana dinyatakan Sudikno Mertokusumo, Pengadilan Negeri dianggap belum cukup cakap untuk memberi batas apa yang tercakup dalam Peradilan TUN dan dianggap belum mampu menafsirkan peraturan-peraturan TUN yang jumlahnya sedemikian banyak (Paulus Effendi Lotulung, 2013: 9).

Berangkat dari hal tersebut, terbaca tugas Peradilan TUN cukup berat, karena: pertama, objek yang diadili di Peradilan TUN adalah norma penutup berupa Keputusan/Tindakan Pemerintahan yang penerbitannya (juga pencabutannya) didasarkan pada sekian banyak peraturan perundang-undangan; dan kedua, peraturan perundang-undangan bertambah-berkembang secara cepat yang tak jarang mengakibatkan konflik-aturan. Mari kita urai kedua hal ini secara ringkas:

Pertama: Perihal Norma Penutup

Norma penutup adalah norma yang terbitnya paling akhir setelah sebelumnya ada peraturan-peraturan yang mendahuluinya. Norma dalam Hukum Administrasi saling berhubungan, di mana norma dalam suatu UU akan diikuti dengan berbagai peraturan perundangan-undangan pelaksananya, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dan lainnya, baru setelah itu terbit Keputusan/Tindakan Pemerintahan sebagai penutupnya. Dengan demikian, Keputusan/Tindakan Pemerintahan merupakan norma penutup, yang ketetapannya akan digunakan secara langsung oleh penerima Keputusan/Tindakan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan (Philipus M. Hadjon, 1993: 17-22). Dalam memeriksa norma penutup tersebut, hakim Peradilan TUN harus memeriksa keabsahan Keputusan/Tindakan berdasarkan semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dan terkait dengan penerbitan Keputusan TUN yang menjadi objek sengketa. Bukan itu saja, hakim Peradilan TUN juga dituntut untuk menyesuaikan putusannya dengan hukum yang menjadi dasar penerbitan Keputusan TUN yang digugat. Hakim Peradilan TUN tidak dapat memutus sekehendaknya tanpa memperhatikan peraturan yang terkait. Dalam kata lain, hakim Peradilan TUN harus selalu menempatkan putusannya dalam sistem hukum. Apabila ternyata peraturan yang menjadi dasar Keputusan TUN tidak jelas atau terjadi konflik aturan, maka hakim Peradilan TUN harus mengharmonisasinya, antara lain melalui invalidasi praktikal,agar terwujud sistem hukum yang utuh dan koheren.

Kedua: Perihal Ledakan Peraturan Perundang-Undangan

            Pada masa sebelum menetap (nomaden; pemburu-pengumpul), manusia harus berpindah-pindah sesuai dengan kemampuan daya dukung alam setempat. Sebagai pemburu-pengumpul yang tidak menetap, struktur sosialnya sangat egaliter dan cair, belum membutuhkan pelembagaan kekuasaan. Media komunikasinya hanya secara lisan, belum menemukan tulisan, termasuk hukumnya. Hukum dengan media lisan tersebut terkategori sebagai “hukum alami”, yaitu hukum yang “terbentuk secara spontan di dalam kesadaran hukum masyarakat, yang berakar dari akal budi dan rasa keadilan setiap orang, tidak tertulis, sebagai tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi” (B. Arief Sidharta, 2013: 15).  Misalnya, hukum alami akan menghendaki penghormatan atas jiwa dan tubuh manusia, sehingga tindakan seseorang yang secara sepihak melukai orang lain pasti dianggap melanggar hukum dalam pandangan semua manusia. Sebagai hukum berbentuk lisan non-tulisan, maka hukum acara (tatacara menuntut hak, prosedur pembuktiannya, hingga putusannya) pada hukum alami juga dilaksanakan secara lisan.

Sesudah revolusi neolitik, masyarakat yang semakin kompleks, sehingga hukum alami dengan media lisan tidak sanggup lagi menghadirkan kepastian dan stabilitas di masyarakat. Seseorang dapat berkilah ia tidak tahu suatu aturan lisan tertentu. Untuk itu, bersamaan dengan mulai ditemukannya tulisan enam ribu tahun silam, disusunlah hukum tertulis oleh penguasa setempat, yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat di suatu waktu tertentu. Hukum tertulis inilah yang disebut sebagai “hukum artifisial (buatan)”. Hukum artifisal merupakan “peraturan tertulis buatan yang terikat ruang dan waktu tertentu, yang dibuat dan ditegakkan oleh kekuasaan di wilayah tertentu”. Di antara bentuk awal hukum tertulis yang sangat terkenal dan prasastinya kini tersimpan di museum Louvre adalah Kode Hammurabi, yang diundangkan sekitar empat ribu tahun lalu pada masa Babilonia kuno.

Hukum artifisial tertulis semakin mengemuka pada zaman modern ini, khususnya sejak kemunculan negara bangsa (nation state). Bahkan di era pasca-kolonialisme, terutama di negara sedang berkembang yang berusaha mengejar ketertinggalan, pemerintah berusaha meningkatkan perannya secara top down dengan menerbitkan berbagai produk peraturan tertulis (Taliziduhu Ndraha, 1989: 117).  Hal ini mengakibatkan kuantitas dan kualitas produk peraturan semakin banyak dan kompleks. Jimly Asshiddiqie, dengan meminjam istilah Richard Suskind, menyatakan Indonesia cenderung menjadi “hyper-regulated society”. Banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari banyaknya lembaga negara/pemerintahan dan tuntutan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Banyaknya peraturan dari berbagai lembaga negara/pemerintahan tersebut di samping berpotensi menimbulkan konflik antar-aturan, juga rentan melanggar hak masyarakat.

Paradigma Menyelesaikan: Menambal Dan Menyelaraskan Pasal 25 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Peradilan TUN bukan hanya bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus suatu sengketa TUN, namun juga harus menyelesikan sengketa TUN yang terjadi. Untuk itu, Peradilan TUN harus menerapkan pengembanan hukum secara “problematikal-tersistematisasi”. Dalam kerangka problematikal, putusan hakim harus dapat menyelesaikan suatu sengketa TUN dan mengakhiri konflik antara pemerintah dan warga masyarakat. Dalam kerangka sistematisasi, putusan hakim Peradilan TUN dimaksudkan untuk: (1) menempatkan putusannya dalam sistem hukum sehingga dapat dilaksanakan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi; dan (2) menyelesaikan konflik aturan ataupun kekosongan hukum sehingga dapat menambal dan menyelaraskan sistem hukum. Dengan pengembanan hukum oleh hakim Peradilan TUN tersebut, akan terwujud unifikasi dan prediktabilitas hukum, serta tertatanya bahan hukum secara rasional dan sederhana sehingga mudah dipahami dan digunakan oleh semua pengemban hukum praktikal.

Pedoman Gugatan

Persyaratan pengajuan gugatan, dalam rangka tertib administrasi dan tertib pelaksanaan Persidangan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dapat di akses disini

Untuk memudahkan masyarakat untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya menyediakan format / contoh – contoh Surat Kuasa, surat Gugatan dan Surat Jawaban.

Informasi Cepat

Untuk informasi lebih lanjut, silakan melalui tautan berikut:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan melalui tautan berikut:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan melalui tautan berikut:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan melalui tautan berikut:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan melalui tautan berikut:

Untuk informasi lebih lanjut, silakan melalui tautan berikut: